Pulau Jemur Dalam Sejarah

Puncak pulau Arwah merupakan view terbaik di antara pulau-pulau lain di sekitarnya karena ketinggiannya. Di atas juga ada lapangan helipad untuk kepentingan operasi di laut sewaktu-waktu. Para pejabat sering melakukan peninjauan perbatasan di lokasi ini. Mantan Gubsu HT. Rizal Nurdin (almarhum) tercatat empat kali mendatangi pulau ini. Begitu juga Gubernur Riau dan sejumlah menteri dari Jakarta.

Tapi di balik itu, pulau Jemur juga punya legenda yang cukup menarik. Banyak versinya, meski nama-nama pelaku dan bukti-bukti peristiwanya sama. Menurut penjaga mercusuar, Solahuddin, dulunya pulau Jemur dikuasai oleh Raja Siak, Riau. Alkisah, pada suatu masa di waktu lampau, raja yang berkuasa di Malaysia menugaskan panglimanya untuk mencari telur penyu. Telur penyu itu diminta permaisurinya yang sedang ngidam.

Panglima Layar yang diutus mencari penyu menyusuri Selat Malaka hingga sampai di pulau Jemur. Namun sesampai di pulau ini, niat Panglima Layar berubah. Ia terpesona dengan pulau tersebut dan tidak mau kembali. Selanjutnya ia menguasai pulau setelah melakukan peperangan sengit dengan tiga panglima Raja Siak dari daerah Kubu, Bangko, dan Tanah Putih.

Selama berkuasa, Panglima Layar dikenal memiliki banyak kesaktian. Tempat pemandiannya saja sepanjang 3 mil, terentang dari pulau Arwah sampai pulau Batu Mandi. Jarak sepanjang itu ia lalui dengan berenang. “Bahkan ia juga disebut-sebut suka melompat dari satu pulau ke pulau lain. Jejak kaki bekas lompatannya masih terlihat di salah satu lempengan batu di puncak pulau Arwah ini,” kata Solahuddin.

Untuk menghidupi keluarga dan pasukannya, Panglima Arwah merampoki kapal-kapal yang lewat di sekitar perairan. Para penghuni kapal dibunuhi dan dikuburkan secara massal. Jenazah-jenazah korban rampokannya dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin dan agamanya. Selanjutnya dimasukkan dalam perigi-perigi yang disiapkan untuk itu. Para nelayan yang singgah ke pulau ini percaya bahwa empat perigi yang sekarang ada di pulau Arwah adalah bekas kuburan para korban itu.

Di salah satu sisi pulau Arwah ke arah Selat Malaka, sebuah batu besar menyerupai tubuh manusia tampak terguling tanpa kepala. Di bagian kepala terdapat lubang besar. Para pelaut tua percaya bahwa batu itu adalah bekas tubuh Panglima Layar. Mereka menyebutnya “Datuk” atau orang sakti. Bila ombak besar, para pelaut zaman dulu tidak lupa meminta izin dan restu pada “Datuk” untuk mendapatkan keselamatan.

Konon, batu itu dulunya memiliki kepala. Tapi suatu malam, seorang petugas navigasi dari Belawan bermimpi. Dalam mimpinya, seorang tua mendatangi dan mengatakan bahwa ada emas dan permata di bawah bagian kepala batu sakti tersebut. Sang navigasi lantas mencongkel batu itu dan melubanginya cukup dalam. Tapi beberapa hari kemudian ia sakit dan meninggal.

Tapi ada versi lain. Menurut salah seorang personil TNI-AL, dulunya pasukan KKO dari Jakarta yang menembaki batu tersebut hingga bagian kepalanya terguling. Begitu bagian kepala batu itu terguling, personil yang menembaki itu juga terpenggal kepalanya seketika dan ikut terguling ke pasir. Tapi yang namanya juga legenda, kita harus mencari makna di belakangnya.
---------------

Puas menjelajahi pulau-pulau di kawasan pulau Jemur, kami menutupnya dengan minum kelapa muda segar dari suguhan teman-teman penjaga suar. Mereka sungguh baik hati dan menerima kami bagaikan keluarga. “Kami memang kesepian di sini, Pak. Rasanya senang sekali kalau ramai-ramai begini. Kalau tempat ini sering dikunjungi dan dijadikan objek wisata, wah senang sekali,” ungkap Pak Solahuddin.

Setelah berpamitan, kami pun beranjak ke pantai, naik boat dan memutar haluan ke arah Sungai Berombang. Arloji menunjukkan pukul 15.00 WIB. Cuaca tetap cerah secerah hati kami yang tak lagi gundah pada ancaman ombak. Bahkan, sebelum kembali ke hotel, Pak Irwan melempar ide baru yang cukup menarik. Ia mengajak kami singgah dulu ke sebuah jermal untuk sekadar minum kopi dan menikmati laut sore hari.

Kontan saja ide itu diterima. Tapi mencari jermal tidak gampang. Saat ini tak banyak lagi usaha perikanan yang bersifat statis itu tersisa di laut. Paling hanya 3 sampai 5 unit. Itu pun sudah rapuh dan tinggal menunggu rubuh. Para tauke pemilik jermal tak mau lagi memperbaikinya dengan tiga alasan. Pertama, kini sulit sekali mendapat kayu besar sebagai bahan utama bangunan. Kedua, ikan sudah tak banyak lagi karena beroperasinya pukat harimau. Ketiga, tidak gampang lagi mencari tenaga kerja murah yang mau tinggal di jermal.

Kami beruntung bisa menyaksikan salah satu jermal di usia senjanya pada suatu senja yang indah. Kami dijamu kopi gratis, diberikan kesempatan menyaksikan proses penangkapan ikan di jermal sampai pengolahan ikannya. Inilah rupanya apa yang mereka sebut sebagai “istana goyang” itu.

Saya bahkan tak menyangka kalau kami akan betah menghabiskan waktu berlama-lama di sana. Penjaga jermal menyediakan kami perlengkapan pancing. Dan acara mancing pun dimulai. Asyiknya, kami dapat ikan banyak. Selain ikan-ikan kecil, saya sendiri berhasil mengangkat dua ekor ikan sembilang seberat 1 kg per ekor. Serunya minta ampun!

Kami masak sendiri ikan hasil tangkapan di atas jermal. Makan malam pun berlangsung menggembirakan bukan main. Akhirnya kami sadar waktu sudah menunjukkan pukul 21.30 WIB. Dari jermal, kami masih harus menempuh perjalanan satu jam untuk sampai ke Sungai Berombang.

Saya harus katakan, perjalanan ini melelahkan sekali. Tapi saya juga harus jujur, perjalanan ini menyenangkan sekali. Jangan suruh saya melupakannya, karena itu sangat sulit!

Sumber : http://www.insidesumatera.com/?open=view&newsid=897&go=Kamu+harus+ke+Pulau+Jemur!
lebih dari setahun yang lalu · Laporkan